RSS

Arsip Tag: manusia unggul

MENCETAK MANUSIA UNGGUL

“Beri saya seribu ibu, dan saya akan jadikan mereka seribu manusia seperti yang Anda inginkan”, kata John B. Watson, bapak psikologi modern. Lewat kata-katanya yang terkenal itu, Watson sebetulnya ingin menegaskan, betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan hidup seseorang. Sebagai tokoh utama aliran behaviorism, ia bahkan berani menantang, tanpa berani menghiraukan latar belakang keturunan dan bakatnya, seorang anak bisa dibentuk menjadi apa saja: dokter, ekonom, ahli hukum, pengusaha, pendidik, politikus, atlet, seniman, dan sebut saja apa mau Anda. Pandangan tersebut, meskipun sangat ekstrem (karena itu banyak penentangnya), ada benarnya juga. Setidaknya, Watson mengingatkan kita, betapa pentingnya orang tua mengantarkan masa depan anak. Jangankan Watson yang ilmuwan besar, dari obrolan “ngawur” orang-orang awam pun kerap terselip kebenaran, meski mungkin hanya secuil.

Jadi, kita pun perlu menemukan kebenaran dari para penentang Watson, terutama penganut aliran psikologi humanistik yang menekankan pentingnya anak dipandang sebagai manusia dengan eksistensi yang utuh. Menurut aliran ini, disamping pengaruh sosial, perkembangan anak juga ditentukan oleh tingkat kecerdasan, minat, bakat, bahkan orientasi hidup spiritualnya. Jadi, perlu dipertanyakan, setelah “dicetak” menjadi dokter, ekonom, ahli hukum, pengusaha pendidik, politikus, atlet atau seniman, bahagiakah mereka?

Kebahagian memang sangat relatif, dan sering menggiring kita pada perdebatan klise. Tanpa perlu terjebak dalam argumentasi yang menjengkelkan, sebenarnya kita bisa menggunakan logika yang simpel-simpel saja. Misalnya begini, ada anak yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Karena ambisi orang tua nya dia masuk fakultas kedokteran dan lulus dengan predikat cumlaud. Setelah itu, tidak ada kepiawaian kecuali menimbun banyak uang dari para pasiennya. Dan tentu saja, kata-kata dengan penuh bangga yang tiada henti dari kedua orang tuanya.

Ceritanya akan lain bila otaknya yang cemerlang digunakan untuk mengasah bakat seninya yansg luar biasa. Maklum, sejak kecil dia ingin jadi pelukis terkenal. Berbekal talenta dan antusiasme yang menyala-nyala, tidak mustahil keinginannya akan terwujud. Bahagiakah orang ini ? Anda akan bilang, ah..itu sih relatif. Padahal jawabannya sudah amat jelas: dia tidak bahagia. Bahayanya lagi, kita tidak dapat mengharapkan karya-karya besar dari orang yang tidak bahagia, orang-orang yang secara tak sadar membenci dirinya sendiri.

Jujur memang harus kita akui, karena kurangnya wawasan atau demi ambisi pribadi, banyak orang tua di negeri ini yang masih saja “menjerumuskan” anaknya menjadi manusia dewasa yang bukan menjadi dirinya sendiri. Sialnya lagi, diluar kontrol kesadarannya, setelah dewasa biasanya orang-orang seperti ini akan tersesat dalam perilaku negarif sebagai mekanisme kompensasi atau pertahanan dirinya. Mengatasi penderitaan, tutur psikolog Nathaniel Branden, adalah kegiatan manusia yang paling mudah. Menjadi bahagia adalah yang paling sulit.

Ditarik dalam lingkup yang lebih luas, barangkali fenomena tersebut bisa sedikit menjelaskan, mengapa sudah sedemikian banyak sarjana dilahirkan dinegeri ini, toh Indonesia masih saja tertinggal di berbagai bidang kehidupan dibanding negara-negara lain. Memang, semakin lama semakin terbukti, negara-negara yang maju peradaban dan perekonomiannya ternyata selalu ditopang oleh kemajuan di semua bidang kehidupannya. Bukan hanya maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi juga di bidang sastra, filsafat, seni, dan olahraga. Bidang-bidang yang disebut terakhir – sastra, filsafat,seni dan olahraga- dewasa ini bahwan telah menjadi simbol untuk menunjukkan kelas mereka sebagai bangsa. Maka, kalau ingin maju dan sejajar dengan bangsa lain, Indonesia masih membutuhkan orang yang hebat di berbagai bidang kehidupan.

Sampai pada titik ini, semakin jelas, pendidikan yang benar untuk generasi mendatang menjadi semakin krusial. Dan, yang perlu kita sadari, mendidik anak bukanlah sekedar ilmu, melainkan sarat pula melibatkan unsur seni. Anda tak perlu khawatir bahwa seni ini tidak bisa dipelajari. Buktinya, banyak orang tua sederhana, yang mungkin tak pernah belajar tentang teori modern pendidikan, ternyata mampu mengantar anak mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang sukses, bangunan bagi sesama dan bahagia. Seni itu terletak pada kepekaaan orang tua membaca dan memahami kecerdasan, talenta, bakat-bakat khusus, minat, antusiasme, dan orientasi sang anak. Semua ini mesti dicermati sejak anak usia dini, kemudian dipupuk dan dikembangkan sejalan dengan perkembangan usia. Setelah anak menginjak usia remaja, sudah tergambar bidang apa yang kelak cocok dan membahagiakan sang anak untuk ditekuni. Tahap berikutnya, orang tua tinggal tut wuri handayani.

Seni itu juga terletak pada kepiawaian orang tua menempa anak-anaknya agar memiliki karakter yang kuat. Membentuk karakter anak betul-betul menjadi hak prerogatif orang tua. Perlu ditegaskan disini bahwa kecerdasan dan talenta adalah karunia, sedangkan karakter adalah pilihan. Menjadi tugas orang tua untuk mengarahkan anak memilih karakter yang kuat. Dalam hal ini, keteladanan orang tua adalah segala-galanya. Sedari kecil anak akan selalu memerhatikan. Misalnya, ketika menghadapi situasi sulit, akankah orang tuanya menghadapi dengan gagah berani ataukah menghindarinya; kokoh mendukung kebenaran ataukah melenceng; tekun dalam pekerjaan atau gemar mencari jalan pintas.

Karakter yang kuat akan menopang sukses jangka panjang bersama orang lain. Kita sering menyaksikan, orang yang bertalenta tinggi sekonyong-konyong terpelanting ketika mencapai tingkat sukses tertentu karena tidak memiliki dasar karakter yang kuat untuk menopangnya. Begitu berada di puncak, orang-orang seperti ini mengembangakan sifat congkak, suka cari gara-gara atau cuci tangan ketika dihadapkan pada permasalahan yang pelik. Ini semua menyangkut soal karakter.

Dari tulisan diatas, ternyata memang lingkungan kelaurgalah yang berperan penting menempa dan membangun karakter sejumlah orang sukses.

Sumber :Majalah Swasembada, 2009

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 16/04/2010 inci Uncategorized

 

Tag: